IDA WIDYASTUTI
Lahir: Demak, Jawa Tengah, 30 Oktober 1974
Suami: M Haris Setiawan
Anak:
- Nabil Hilmi Daffa
- Keiko Hana Sheika
Pendidikan: D-1 Perhotelan Aryanti, Bandung, 1998-1999
Penghargaan, antara lain:
- Prabaswara Award Kementerian UKM dan Koperasi, 2013
- Juara I Pangan Nusa Award Kementerian Perdagangan, 2012
- Winner ofWinning Women 2012 Ernts & Young
- 100 Perempuan Pengusaha Majalah Swa, 2012
- Juara I wirausaha Mandiri Majalah Femina, 2012
Di mana ada kemauan,
pasti ada jalan, Terdengar klise, tetapi semangat itu benar-benar
mengubah perjalanan hidup Ida Widyastuti (38). Dari pekerja pabrik
elektronik di Batam, Ida kini menjadi ratu pisang dengan omzet usaha
miliaran rupiah per bulan.
[NINUK M PAMBUDY & AGNES SWETTA PANDIA]
Julukan
"ratu pisang"-lebih tepatnya ratu keripik pisang- diberikan 300-an
petani pisang tanduk di Trenggalek dan Tulungagung, Jawa Timur, sebagai
wujud penghargaan bagi dia.
Kerja sama dengan
petani di Trenggalek berawal tahun 2004. Saat itu Ida baru merintis
usaha camilan tradisional, selain mendistribusikan makanan kecil
produksi pengusaha mikro.
Saat mencari bahan
baku pisang, di Trenggalek dia melihat petani membuang pisang tanduk
seusai Lebaran karena tidak laku. Ida menangkap peluang tersebut. Perlu
empat bulan masa mencoba-coba sebelum dia menemukan resep yang pas.
"Ini termasuk rugi juga," tutur ibu dua putri itu.
Ada 10 kelompok tani
dengan luas 200 hektar bergabung bersama Kelompok Usaha Bersama
Mekarsari yang dikembangkan Ida. selain menjamin pembelian pisang, ia
juga mengembangkan bibit pisang melalui seleksi dan ikut menanam pisang
supaya tahu persoalan produksi pada bagian hulu.
Sekarang, produksi
keripik pisang Ida mencapai 50-75 ton per bulan, bergantung pada musim
dan permintaan. Sebagian besar keripik pisang itu dipasarkan ke luar
Pulau Jawa. Semua di bawah bendera Roemah Snack Mekarsari yang dia
kelola bersama suaminya, M Haris Setiawan.
Ingin kaya
Hidup adalah
perjuangan, benar-benar dilakoni Ida. Ibunya meninggal saat melahirkan
Ida dan membuat dia menjadi anak tunggal. Kakek dan neneknya lalu
membesarkan dia di desa secara sederhana.
Ida mengenang, ketika
masih duduk di kelas IV SD, dia biasa ikut orang bekerja di ladang
karena ingin mandiri secara ekonomi. "Orang dewasa mendapat upah Rp 800
dan saya dapat Rp 300," tutur Ida dalam pertemuan di Jakarta.
Keadaan ekonomi tidak
memungkinkan Ida melanjutkan pendidikan. Perempuan kelahiran Demak, Jawa
Tengah, itu lalu bekerja di pabrik peralatan elektronik di Batam pada
1993.
Warga Sidoarjo, Jawa
Timur, tersebut kemudian membuat target. Ia bekerja sebagai buruh hanya
lima tahun. Setelah itu dia harus bisa mandiri dengan berwirausaha.
"Saya membulatkan
tekad, harus keluar dari kemiskinan karena orang miskin tidak bisa
berbuat apa-apa. Saya ingin menjadi orang kaya," tutur Ida.
Meski terbiasa hidup
sederhana, Ida merasa kehidupan sebagai buruh tetap berat. Untuk makan
sehari-hari, misalnya, dia biasa mengonsumsi lauk telur dicampur tepung
supaya bisa dibagi dengan teman satu kontrakan.
Untuk ke tempat kerja,
dia mengayuh sepeda butut. Untuk menyambung hidup dari gajinya sebesar
Rp 150.000 per bulan, Ida menyambi berjualan pakaian, mukena, dan
seprai.
Ida mengaku, ketika
itu dia sering mengeluh, jenuh, bahkan nyaris putus asa. Mengapa
kehidupannya miskin terus? Hal itu membuat dia tidak percaya diri dan
tertutup.
Perubahan besar
terjadi pada 1997. Suatu tengah malam dia berjalan ke lapangan di dekat
tempat indekosnya, lalu marah kepada Tuhan karena merasa tidak adil.
Ketika esoknya terbangun oleh azan Subuh, dia hanya pasrah. "Ingat
semalam marah kepada Tuhan," kata Ida serius.
Seminggu kemudian, dia
mendengar suara anak-anak menangis dari dalam hutan. Ternyata suara itu
berasal dari gubuk reyot yang dihuni seorang ibu dengan empat anaknya.
Anak-anak itu menangis karena lapar.
"Sejak saat itu saya
bertekad tidak akan mengeluh lagi. Setiap bangun pagi saya mengatakan
kepada diri sendiri betapa beruntungnya saya," cerita Ida.
Dukungan keluarga
Selepas lima tahun
bekerja di Batam, Ida ingin bekerja di kapal pesiar. Dia pergi ke
Bandung, belajar pada sebuah akademi pariwisata dan menyelesaikan
program diploma I.
Alih-alih bekerja di
kapal pesiar, Ida bertemu teman semasa SMA, Haris, saat mengikuti reuni
SMA di Jombang, Jawa Timur. Keduanya lalu menikah pada 1999.
Menjadi ibu
rumahtangga tidak memadamkan niat Ida mandiri secara ekonomi meski
posisi Haris sebagai manajer di perusahaan otomotif memberikan kecukupan
materi berupa rumah tinggal dan mobil.
Ketika suaminya
dipindahkan ke Sidoarjo, Ida merasa tidak sanggup jika nantinya terus
berpindah-pindah kota mengikuti penugasan sang suami. Dia menghidupkan
cita-cita lama memiliki usaha sendiri. Modal awal Rp 600.000
dimanfaatkan Ida untuk memasarkan emping milik kerabat dari Yogyakarta.
Itu menjadi awal Ida memasuki dunia distribusi.
Namun, cita-citanya
menjadi distributor produk merek-merek terkenal kandas. "Mereka menolak
karena punya jaringan distribusi sendiri," kata Ida mengenang.
Pantang putus asa, Ida
melihat peluang lain, yakni camilan tradisional produksi usaha mikro.
Dia mengajari mereka kebersihan, pilihan rasa dan kemasan, membantu
permodalan, serta mendistribusikan produk tersebut.
Tentang tantangan
terbesarnya, menurut Ida adalah mengubah pandangan sebagian orang bahwa
emansipasi itu ada batasnya. "Selama ini pada sebagian anak perempuan
selalu ditanamkan emansipasi itu ada batasnya. Menurut saya, emansipasi
tidak ada batasnya. Perempuan bisa berbuat banyak hal, tetapi dukungan
keluarga sangat penting," kata Ida.
Haris mendukung usaha
istrinya. "Suami seharusnya bersyukur jika istri ingin berkarier. Orang
yang ingin punya usaha sendiri harus siap dan istri saya sudah siap
tidak mendapat fasilitas rumah dan mobil dari kantor," kata Haris.
Dia lalu memenuhi
permintaan Ida untuk ikut sepenuhnya terjun ke dunia usaha dan
mendirikan usaha jasa logistik guna mendukung bisnis istrinya.
Suami-istri ini
kompak, selalu berdua mengunjungi 50 mitra UKM yang tersebar di belasan
kota di Jawa. Mereka tetap mengawasi sendiri kualitas produk mitra-mitra
mereka dengan berkunjung tanpa pemberitahuan lebih dulu.
Menurut Ida, kelebihan
sebagai perempuan adalah ketajaman intuisi, keinginan bekerja bersama,
saling dukung dan berbagi, serta maju bersama. Dia telah bermetamorfosis
menjadi sosok terbuka dan mampu memitovasi orang lain untuk maju
bersama.
Ida telah meretas
jalan mewujudkan cita-cita mandiri secara ekonomi tanpa melupakan
prinsip saling dukung dengan keluarga, para mitra, dan pelanggan.