Kamis, 30 Mei 2013

Ida Widyastuti: Rezeki Pisang Yang Terbuang

Memulai bisnis tak selalu membutuhkan modal puluhan juta rupiah. Ida Widyastuti, pemenang Kategori Khusus Green Entrepreneur dan Pemenang 1 Lomba Wanita Wirausaha Femina-Mandiri 2012, membuktikannya. Hanya dengan Rp 600 ribu, Ida memulai usahanya dengan menjajakan emping dari pasar ke pasar. Berkat kecermatannya mengambil peluang, Ida kini menjadi pemilik Roemah Snack Mekarsari yang beromzet miliaran rupiah per tahun dan siap menembus pasar internasional.

Cermat Menangkap Peluang :
Siapa sangka, kesuksesan wanita pebisnis ini bermula dari kehidupan masa lalunya yang jauh dari kenyamanan. Sejak ibundanya meninggal ketika ia masih bayi, Ida kecil dirawat berpindah-pindah dari satu kerabat ke kerabat lain hingga SMA.
Keterbatasan dana pun mengakibatkan wanita kelahiran Demak ini harus mengubur cita-citanya melanjutkan kuliah. Dengan hati separuh marah, selepas SMA, Ida melarikan diri ke Batam dan bekerja sebagai buruh pabrik. "Suatu kali saya berteriak-teriak di lapangan, mempertanyakan penderitaan hidup saya kepada Tuhan. Beberapa waktu kemudian, tanpa sengaja saya bertemu dengan seorang anak kecil yang menangis kelaparan karena ibunya tidak bisa bekerja karena sakit. Saya langsung sujud syukur. Sejak itu saya tahu saya adalah orang yang beruntung," katanya bijak.

Ida pun mulai bangkit dan berjualan aneka barang untuk menambah penghasilan. "Sewaktu mengunjungi saudara di Jawa Tengah, saya mendapat buah tangan emping itu. Sambil menggoreng emping, pikiran saya mulai bergerak. Jika saya jual, pasti menguntungkan! Keesokan harinya, saya langsung survei ke pasar untuk mencari tahu harga jual emping. Bermodal Rp 600.000, saya mengambil emping basah dari saudara untuk dijual kembali,"

Keluar masuk pasar untuk menjajakan emping, dilakoninya selama dua tahun. Kecermatannya menangkap peluang usaha lagi-lagi muncul saat mengunjungi kerabatnya di salah satu desa di Kabupaten Trenggalek. Ia merasa sayang melihat begitu banyak pisang agung dibuang ke laut yang tidak laku dijual setelah puasa dan lebaran.
"Apakah pisang-pisang itu bisa dimanfaatkan? Saya kemudian belajar mengolah pisang menjadi keripik. Proses trial and error memakan waktu selama kurang lebih 4 bulan. Kirim ke Bandung, pemasok camilan ringan, dikembalikan karena melempem. Soal rugi, jangan ditanya," katanya tertawa.

Setelah mendapat formulasi yang pas, Ida kembali memberanikan diri melempar produknya ke pasar dan mendapat respons cukup baik. Sering berjalannya waktu, kuota permintaan meningkat, itu artinya produksi pun makin tinggi. Ia tidak bisa lagi mengandalkan pisang dari tengkulak atau pengepul.

Dari situ muncul ide untuk membina pra petani di sana dengan sistem plasma inti. Mereka yang punya lahan kosong atau ditanami pohon keras, seperti cengkih yang tinggi, bagian bawahnya bisa ditanami pisang.
"Pendekatan ini tidak langsung berhasil karena petani takut tidak ada yang membeli hasil panen mereka. Saya pun kembali meyakinkan dan menjamin bahwa berapa pun hasilnya, pasti saya beli. Petani yang tidak mampu dibantu dengan pengadaan bibit dan pupuk," ujarnya, bersemangat.

Komitmennya yang tinggi pada petani membuatnya tidak lagi kekurangan bahan baku. "Saat berbisnis, memang harus ada untungnya. Namun, bukan berarti saya menjadi tidak mau tahu mengenai kesulitan orang lain. Sebenarnya usaha ini simpel, potensinya sudah ada, tinggal dikembangkan. Rasa takut petani karena tidak ada yang membeli hasil panen mereka itulah yang harus diatasi,"

Menyerah? Tidak Pernah!
Tegar melaui masa kecil yang sangat sulit, menjadikan Ida sosok yang tangguh. Kala menghadapi kendala, ia selalu bercermin pada masa lalunya. "Jika jatuh, jangan langsung menyerah. Karena masalah ada untuk menggembleng kita agar lebih kuat. Jika menyadari itu, kita tidak akan putus asa," katanya.

Ia pun mengisahkan, sat baru memulai usaha, ia ditipu oleh temannya sendiri. Padahal modal sangat terbatas. "Terus terang itu sangaaat... berat. Dua bulan saya mengurung diri, hingga eyang menasihatai saya untuk menemukan makna ikhlas dan sabar. Bahwa apa yang saya punya, bukanlah milik saya, itu hanya titipan.

Begitu saya benar-benar mengikhlaskan, di saat itulah saya mulai bangkit. Saya memang rugi materi, tetapi bangun tidur saya masih sehat, masih bisa tersenyum, itu jauh lebih berharga," ujar ibu dua anak ini.
Diakuinya pula, jika ada yang mencoba menipu atau ada rekanan yang tidak mau bayar, ia memilih untuk tidak memikirkannya. Sikap ikhlasnya ini ternyata tak luput dari kritikan teman-temannya.

"Prinsip bisnis saya berbeda dengan orang lain. Ini bisnis dengan hati. Saya bukan lulusan universitas, tidak menguasai teori-teori bisni yang hebat. Tetapi saya yakin, dengan hati yang bersih, maka bisnis ini akan terus ada."

Usaha keripik pisang yang dirintis sejak tahun 2004 ini makin besar. Produk Roemah Snack Mekarsari tidak hanya yang keluar dari pabriknya, ia juga menggandeng sekitar 100-an UKM yang memproduksi aneka macam camilan tradisional.
Secara rutin Ida memantau rekanan UKM di berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur, berpameran di dalam dan luar negeri, dan mengikuti pelatihan (pertengahan Juni lalu ia baru saja kembali dari Jepang untuk mengikuti workshop mengenai packing) untuk meningkatkan kemampuan bisnisnya.

Tujuan bisnisnya hanya satu: camilan Indonesia makin dikenal di mancanegara. Kini ia mulai menjajaki kemungkinan untuk masuk ke modern market. "Semua pengusaha kan harus naik kelas," kata wanita ramah ini, sambil tersenyum.
Tak pelak semua kegiatannya itu mengharuskannya membagi waktu lebih cermat untuk keluarga. "Pekerjaan dan keluarga sama-sama penting. Bekerja merupakan aktualisasi diri, sementara keluarga adalah prioritas. Saya punya tugas belajar bersama dengan anak-anak. Pulang dari luar kota, kami punya 'tradisi' makan malam bersama di restoran yang dipilih anak-anak," katanya.

Ia pun kembali menekankan bahwa semua perjuangan ini untuk keluarga. Sibuk? "Ah, tidak terlalu. Saya memang tidak sempurna, tetapi sebisa mungkin saya akan atur waktu agar lebih berkualitas," tandas Ida, yang omzet usahanya kini mencapai miliaran per tahun.

0 komentar:

Posting Komentar