Memulai bisnis tak selalu membutuhkan modal puluhan juta rupiah. Ida Widyastuti, pemenang Kategori Khusus Green Entrepreneur dan Pemenang 1 Lomba Wanita Wirausaha Femina-Mandiri 2012, membuktikannya. Hanya dengan Rp 600 ribu, Ida memulai usahanya dengan menjajakan emping dari pasar ke pasar. Berkat kecermatannya mengambil peluang, Ida kini menjadi pemilik Roemah Snack Mekarsari yang beromzet miliaran rupiah per tahun dan siap menembus pasar internasional.
Cermat Menangkap Peluang :
Siapa sangka, kesuksesan wanita pebisnis ini bermula dari kehidupan masa lalunya yang jauh dari kenyamanan. Sejak ibundanya meninggal ketika ia masih bayi, Ida kecil dirawat berpindah-pindah dari satu kerabat ke kerabat lain hingga SMA.
Keterbatasan
dana pun mengakibatkan wanita kelahiran Demak ini harus mengubur
cita-citanya melanjutkan kuliah. Dengan hati separuh marah, selepas SMA,
Ida melarikan diri ke Batam dan bekerja sebagai buruh pabrik. "Suatu
kali saya berteriak-teriak di lapangan, mempertanyakan penderitaan hidup
saya kepada Tuhan. Beberapa waktu kemudian, tanpa sengaja saya bertemu
dengan seorang anak kecil yang menangis kelaparan karena ibunya tidak
bisa bekerja karena sakit. Saya langsung sujud syukur. Sejak itu saya
tahu saya adalah orang yang beruntung," katanya bijak.
Ida pun
mulai bangkit dan berjualan aneka barang untuk menambah penghasilan.
"Sewaktu mengunjungi saudara di Jawa Tengah, saya mendapat buah tangan
emping itu. Sambil menggoreng emping, pikiran saya mulai bergerak. Jika
saya jual, pasti menguntungkan! Keesokan harinya, saya langsung survei
ke pasar untuk mencari tahu harga jual emping. Bermodal Rp 600.000, saya
mengambil emping basah dari saudara untuk dijual kembali,"
Keluar
masuk pasar untuk menjajakan emping, dilakoninya selama dua tahun.
Kecermatannya menangkap peluang usaha lagi-lagi muncul saat mengunjungi
kerabatnya di salah satu desa di Kabupaten Trenggalek. Ia merasa sayang
melihat begitu banyak pisang agung dibuang ke laut yang tidak laku
dijual setelah puasa dan lebaran.
"Apakah
pisang-pisang itu bisa dimanfaatkan? Saya kemudian belajar mengolah
pisang menjadi keripik. Proses trial and error memakan waktu selama
kurang lebih 4 bulan. Kirim ke Bandung, pemasok camilan ringan,
dikembalikan karena melempem. Soal rugi, jangan ditanya," katanya
tertawa.
Setelah
mendapat formulasi yang pas, Ida kembali memberanikan diri melempar
produknya ke pasar dan mendapat respons cukup baik. Sering berjalannya
waktu, kuota permintaan meningkat, itu artinya produksi pun makin
tinggi. Ia tidak bisa lagi mengandalkan pisang dari tengkulak atau
pengepul.
Dari situ
muncul ide untuk membina pra petani di sana dengan sistem plasma inti.
Mereka yang punya lahan kosong atau ditanami pohon keras, seperti
cengkih yang tinggi, bagian bawahnya bisa ditanami pisang.
"Pendekatan
ini tidak langsung berhasil karena petani takut tidak ada yang membeli
hasil panen mereka. Saya pun kembali meyakinkan dan menjamin bahwa
berapa pun hasilnya, pasti saya beli. Petani yang tidak mampu dibantu
dengan pengadaan bibit dan pupuk," ujarnya, bersemangat.
Komitmennya
yang tinggi pada petani membuatnya tidak lagi kekurangan bahan baku.
"Saat berbisnis, memang harus ada untungnya. Namun, bukan berarti saya
menjadi tidak mau tahu mengenai kesulitan orang lain. Sebenarnya usaha
ini simpel, potensinya sudah ada, tinggal dikembangkan. Rasa takut
petani karena tidak ada yang membeli hasil panen mereka itulah yang
harus diatasi,"
Menyerah? Tidak Pernah!
Tegar
melaui masa kecil yang sangat sulit, menjadikan Ida sosok yang tangguh.
Kala menghadapi kendala, ia selalu bercermin pada masa lalunya. "Jika
jatuh, jangan langsung menyerah. Karena masalah ada untuk menggembleng
kita agar lebih kuat. Jika menyadari itu, kita tidak akan putus asa,"
katanya.
Ia pun
mengisahkan, sat baru memulai usaha, ia ditipu oleh temannya sendiri.
Padahal modal sangat terbatas. "Terus terang itu sangaaat... berat. Dua
bulan saya mengurung diri, hingga eyang menasihatai saya untuk menemukan
makna ikhlas dan sabar. Bahwa apa yang saya punya, bukanlah milik saya,
itu hanya titipan.
Begitu
saya benar-benar mengikhlaskan, di saat itulah saya mulai bangkit. Saya
memang rugi materi, tetapi bangun tidur saya masih sehat, masih bisa
tersenyum, itu jauh lebih berharga," ujar ibu dua anak ini.
Diakuinya
pula, jika ada yang mencoba menipu atau ada rekanan yang tidak mau
bayar, ia memilih untuk tidak memikirkannya. Sikap ikhlasnya ini
ternyata tak luput dari kritikan teman-temannya.
"Prinsip
bisnis saya berbeda dengan orang lain. Ini bisnis dengan hati. Saya
bukan lulusan universitas, tidak menguasai teori-teori bisni yang hebat.
Tetapi saya yakin, dengan hati yang bersih, maka bisnis ini akan terus
ada."
Usaha
keripik pisang yang dirintis sejak tahun 2004 ini makin besar. Produk
Roemah Snack Mekarsari tidak hanya yang keluar dari pabriknya, ia juga
menggandeng sekitar 100-an UKM yang memproduksi aneka macam camilan
tradisional.
Secara
rutin Ida memantau rekanan UKM di berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa
Barat, dan Jawa Timur, berpameran di dalam dan luar negeri, dan
mengikuti pelatihan (pertengahan Juni lalu ia baru saja kembali dari
Jepang untuk mengikuti workshop mengenai packing) untuk meningkatkan
kemampuan bisnisnya.
Tujuan
bisnisnya hanya satu: camilan Indonesia makin dikenal di mancanegara.
Kini ia mulai menjajaki kemungkinan untuk masuk ke modern market. "Semua
pengusaha kan harus naik kelas," kata wanita ramah ini, sambil
tersenyum.
Tak pelak
semua kegiatannya itu mengharuskannya membagi waktu lebih cermat untuk
keluarga. "Pekerjaan dan keluarga sama-sama penting. Bekerja merupakan
aktualisasi diri, sementara keluarga adalah prioritas. Saya punya tugas
belajar bersama dengan anak-anak. Pulang dari luar kota, kami punya
'tradisi' makan malam bersama di restoran yang dipilih anak-anak,"
katanya.
Ia pun
kembali menekankan bahwa semua perjuangan ini untuk keluarga. Sibuk?
"Ah, tidak terlalu. Saya memang tidak sempurna, tetapi sebisa mungkin
saya akan atur waktu agar lebih berkualitas," tandas Ida, yang omzet
usahanya kini mencapai miliaran per tahun.
0 komentar:
Posting Komentar